Oleh : Jasman, S.Pd
Guru SMA Negeri 1 Toboali
(pernah dimuat di rubrik Opini Harian Bangka Pos Tanggal 10 Maret 2014)
Di dunia ini, sosok guru bisa ditemukan dimana saja dan kapan
saja. Sosok guru bagai sebuah mesin yang setiap saat "memproduksi"
murid-muridnya menjadi manusia yang baik. Yang dimaksudkan di sini adalah
manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Manusia yang kelak akan menjadi sosok
yang mampu bersosialisasi dengan orang lain. Dengan kata lain, setiap orang
pasti melalui proses pembelajaran, baik formal dan atau nonformal, atau
keduanya. Tentunya, proses pembelajaran memerlukan adanya sosok guru.
Dari dahulu sampai sekarang, sosok guru senantiasa mengalami proses regenerasi secara kontinum. Keberadaan guru ibarat mengalami proses reingkarnasi. Satu orang guru yang berhenti mengajar akan tergantikan oleh seribu guru yang lain. Guru-guru itu muncul berkat didikan dari guru-guru yang telah lalu. Pertanyaanya, siapa saja yang disebut guru itu?
Penulis mencoba mengeneralisasikan pengertian istilah guru dalam dua sudut pandang. Dari sudut pandang pertama, guru dipandang dalam arti yang luas. Guru adalah setiap orang memberikan pengajaran baik dalam bentuk ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, maupun sikap kepada orang lain. Misalnya guru ngaji, guru silat, guru keterampilan, bahkan pengalaman pun lazim dikonotasikan sebagai guru. Sedangkan dalam pengertian formal, guru adalah orang yang memenuhi standar kompetensi minimal yang bertugas mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada pada siswa dalam sebuah lembaga pendidikan.
Dalam pandangan apapu, seorang guru pastinya mempunyai tugas-tugas seperti yaitu mengajarkan ilmu pengetahuan, melatih keterampilan, serta mendidik untuk menjadi manusia yang baik. Mengajar, melatih, dan mendidikan merupakan 3 tugas pokok yang tidak bisa dihindari oleh seorang guru. Mengajar dilakukan agar muridnya menjadi orang pintar. Melatih adalah usaha untuk menjadikan muridnya terampil melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan mendidik adalah menanamkan dalam diri murid-muridnya nilai-nilai kebenaran yang akan dipakai dalam kehidupan nanti.
Seorang guru yang baik senantiasa mengajar, melatih, dan mendidik muridnya pada kebenaran. Jarang sekali bahkan tidak pernah kita menemukan seorang guru yang mengajarkan muridnya sesuatu pengajaran yang salah. Misalnya menyuruh mencuri, menghalalkan yang haram, dan sebagainya. Jikalau terjadi, maka guru tersebut bukanlah guru yang baik.
Sosok guru yang ideal adalah sosok guru yang mampu mengajarkan ilmu pengetahuan dengan baik serta mampu mendidik dengan ajaran yang sesuai dengan tuntunan agama, bersikap dan bersifat yang baik. Setiap pengajaran yang diberikan adalah pengajaran yang mengarah kepada nilai-nilai ketuhanan. Sikap dan sifatnya mampu menjadi teladan atau panutan semua orang. Jika digambarkan dengan istilah lama, guru adalah sosok yang bisa digugu dan ditiru.
Dalam istilah agama, pengajaran dan keteladanan seorang guru yang tergambar di atas adalah perbuatan amar ma'ruf nahi munkar. "Prase" diatas memiliki dua makna. Pertama, seorang guru secara konsisten mengajarkan kebenaran kepada murid-muridnya agar mereka mengamalkan ilmu pengetahuan mereka untuk kebaikan. Contohnya, guru mengajarkan agama agar muridnya melakukan sholat dan ibadah lainnya, guru mengajaran ilmu berhitung (matematika) agar mereka nanti mampu menghitung zakat dari hartanya. Ilmu ekonomi bermanfaat untuk menamkan rasa syukur dan mencari rezeki di jalan yang halal. Ilmu Geografi dan Biologi diajarkan untuk menunjukkan Keberasaran Tuhan mereka serta mengajak murid-muridnya mengetahui bahwa Tuhannya itu Maha Perkasa dan Maha Pencipta. Serta ilmu-ilmu lainnya.
Kedua, setiap mengajar semua guru pasti sering menegur muridnya yang melakukan peyimpangan. Hal itu sebagai wujud dalam mencegah terjadinya kemungkaran. Guru sering menegur siswanya yang tidak mengerjakan tugas agar siswanya tidak menjadi manusia yang pemalas. Guru memberikan sanksi kepada murid yang terlambat untuk mendidik supaya muridnya disiplin. Guru melarang muridnya bolos supaya tidak terjadi hal-hal yang negatif.
Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur'an bahwa ummat (manusia) yang paling baik diciptakan Allah adalah ummat yang melakukan perbuatan amar ma'ruf nahi munkar. Ayat tersebut secara tidak langsung mengarah pada sosok guru. Seorang guru yang kesehariannya menanamkan kebaikan pada siswa, mengajarkan kebaikan, melarang muridnya melakukan perbuatan negatif adalah sosok ummat yang baik. Maka, berbanggalah kita yang diamanat sebagai seorang Guru, karena Allah telah menjanjikan kebaikan di "masa yang akan datang".
Guru, haruslah orang yang berilmu. Sebagaimana yang tertuang dalam hukum negara kita (UU Sisdiknas) bahwa guru dipersyaratkan minimal berijazah S1. Artinya, tidak ada guru yang tidak berilmu. Tidak ada guru yang bodoh. Karena tanpa ilmu, seseorang tidak bisa mengajarkan suatu kebaikan kepada muridnya. Sebagai seorang yang berilmu, Allah SWT telah berjanji akan menaikkan beberapa derajat orang-orang yang berilmu, termasuk guru. Allah SWT juga akan memberikan kelapangan kepada guru karena selalu melapangkan murid-muridnya dengan ilmu pengetahuan (sumber: Al-Qur'an).
Seorang guru setiap hari mengajarkan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Kemudian ilmu tersebut dimanfaatkan di kehidupan mereka. Bahkan tidak sedikit ilmu itu akan kembali diajarkan kepada orang lain (murid dari murid) sampai beberapa generasi ke bawah tanpa terputus. Allah SWT menggolongkan itu ke dalam salah satu amal jariyah, yaitu ilmu yang bermanfaat (al-Hadits). Amal tersebut senantiasa mengalirkan pahala kepada guru bagai air sungai yang tak pernah kering. Bahkan sampai guru meninggal dunia. Ilmu itu akan tetap menjadi pahala di akhirat nanti.
Oleh sebab itu, marilah kita jaga mulianya menjadi guru. Janganlah kita mencorengnya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Kita sering menonton sikap kontradiktif oleh beberapa oknum guru. Beberapa hari belakangan di media massa ramai diberitakan tindakan oknum guru yang sudah menyimpang dari garis kewajaran. Ada oknum guru yang tega melakukan pencabulan kepada murid-muridnya, banyak guru yang sering melakukan perbuatan dan perkataan kasar kepada muridnya, sering sekali guru bertindak asusila di masyarakat, dan kelalaian-kelalaian lainnya.
Salah satu penyebab phenomena itu terjadi karena kurang terpenuhinya kebutuhan hidup para oknum guru tersebut, baik kebutuhan fisik (ekonomi) dan psikologis. Contoh aksi demonstrasi yang dilakukan oleh ratusan bahkan ribuan guru honorer mengindikasikan bahwa kebutuhan ekonomi guru belum terpenuhi. Jarak perut dan hati manusia sangatlah dekat. Wajar ketika perut belum terisi maka hati manusia akan tercemar oleh "polutan-polutan" yang dikendalikan oleh nafsu. Ibarat sebuah anekdot "bagaimana bisa beramal sementara perut masih kosong", "ketika makan memikirkan ibadah lebih baik daripada beribadah sambil berpikir kapan bisa makan".
Hematnya, untuk mencapai derajat guru menjadi ummat yang baik seperti digambarkan di atas memang membutuhkan dukungan, terutama pemerintah. Sudah saatnya pemerintah memperhatikan guru-guru yang "belum berkecukupan" (maaf, sebagai contoh guru honorer). Pemberian gaji yang wajar sangat membantu para guru honorer untuk mencapai kesejahteraan mereka. Tidaklah elok di satu sisi pemerintah meminta guru (honorer) melaksanakan pengajaran yang terbaik bagi murid-muridnya, tetapi disisi lain pemerintah tidak mengiringinya dengan balas jasa yang sesuai.
Semoga segala ironi semacam itu tidak menyurutkan semangat para Guru untuk senantiasa mengajarkan ilmu pengetahuan, melatih keterampilan, dan mendidik dengan nilai-nilai kehidupan yang baik. Sehinga mampu mencapai kebanggan menjadi guru, yakni menjadi ummat yang terbaik, ummat yang dihanyutkan ke dalam surganya Allah SWT. (*)
Dari dahulu sampai sekarang, sosok guru senantiasa mengalami proses regenerasi secara kontinum. Keberadaan guru ibarat mengalami proses reingkarnasi. Satu orang guru yang berhenti mengajar akan tergantikan oleh seribu guru yang lain. Guru-guru itu muncul berkat didikan dari guru-guru yang telah lalu. Pertanyaanya, siapa saja yang disebut guru itu?
Penulis mencoba mengeneralisasikan pengertian istilah guru dalam dua sudut pandang. Dari sudut pandang pertama, guru dipandang dalam arti yang luas. Guru adalah setiap orang memberikan pengajaran baik dalam bentuk ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, maupun sikap kepada orang lain. Misalnya guru ngaji, guru silat, guru keterampilan, bahkan pengalaman pun lazim dikonotasikan sebagai guru. Sedangkan dalam pengertian formal, guru adalah orang yang memenuhi standar kompetensi minimal yang bertugas mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada pada siswa dalam sebuah lembaga pendidikan.
Dalam pandangan apapu, seorang guru pastinya mempunyai tugas-tugas seperti yaitu mengajarkan ilmu pengetahuan, melatih keterampilan, serta mendidik untuk menjadi manusia yang baik. Mengajar, melatih, dan mendidikan merupakan 3 tugas pokok yang tidak bisa dihindari oleh seorang guru. Mengajar dilakukan agar muridnya menjadi orang pintar. Melatih adalah usaha untuk menjadikan muridnya terampil melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan mendidik adalah menanamkan dalam diri murid-muridnya nilai-nilai kebenaran yang akan dipakai dalam kehidupan nanti.
Seorang guru yang baik senantiasa mengajar, melatih, dan mendidik muridnya pada kebenaran. Jarang sekali bahkan tidak pernah kita menemukan seorang guru yang mengajarkan muridnya sesuatu pengajaran yang salah. Misalnya menyuruh mencuri, menghalalkan yang haram, dan sebagainya. Jikalau terjadi, maka guru tersebut bukanlah guru yang baik.
Sosok guru yang ideal adalah sosok guru yang mampu mengajarkan ilmu pengetahuan dengan baik serta mampu mendidik dengan ajaran yang sesuai dengan tuntunan agama, bersikap dan bersifat yang baik. Setiap pengajaran yang diberikan adalah pengajaran yang mengarah kepada nilai-nilai ketuhanan. Sikap dan sifatnya mampu menjadi teladan atau panutan semua orang. Jika digambarkan dengan istilah lama, guru adalah sosok yang bisa digugu dan ditiru.
Dalam istilah agama, pengajaran dan keteladanan seorang guru yang tergambar di atas adalah perbuatan amar ma'ruf nahi munkar. "Prase" diatas memiliki dua makna. Pertama, seorang guru secara konsisten mengajarkan kebenaran kepada murid-muridnya agar mereka mengamalkan ilmu pengetahuan mereka untuk kebaikan. Contohnya, guru mengajarkan agama agar muridnya melakukan sholat dan ibadah lainnya, guru mengajaran ilmu berhitung (matematika) agar mereka nanti mampu menghitung zakat dari hartanya. Ilmu ekonomi bermanfaat untuk menamkan rasa syukur dan mencari rezeki di jalan yang halal. Ilmu Geografi dan Biologi diajarkan untuk menunjukkan Keberasaran Tuhan mereka serta mengajak murid-muridnya mengetahui bahwa Tuhannya itu Maha Perkasa dan Maha Pencipta. Serta ilmu-ilmu lainnya.
Kedua, setiap mengajar semua guru pasti sering menegur muridnya yang melakukan peyimpangan. Hal itu sebagai wujud dalam mencegah terjadinya kemungkaran. Guru sering menegur siswanya yang tidak mengerjakan tugas agar siswanya tidak menjadi manusia yang pemalas. Guru memberikan sanksi kepada murid yang terlambat untuk mendidik supaya muridnya disiplin. Guru melarang muridnya bolos supaya tidak terjadi hal-hal yang negatif.
Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur'an bahwa ummat (manusia) yang paling baik diciptakan Allah adalah ummat yang melakukan perbuatan amar ma'ruf nahi munkar. Ayat tersebut secara tidak langsung mengarah pada sosok guru. Seorang guru yang kesehariannya menanamkan kebaikan pada siswa, mengajarkan kebaikan, melarang muridnya melakukan perbuatan negatif adalah sosok ummat yang baik. Maka, berbanggalah kita yang diamanat sebagai seorang Guru, karena Allah telah menjanjikan kebaikan di "masa yang akan datang".
Guru, haruslah orang yang berilmu. Sebagaimana yang tertuang dalam hukum negara kita (UU Sisdiknas) bahwa guru dipersyaratkan minimal berijazah S1. Artinya, tidak ada guru yang tidak berilmu. Tidak ada guru yang bodoh. Karena tanpa ilmu, seseorang tidak bisa mengajarkan suatu kebaikan kepada muridnya. Sebagai seorang yang berilmu, Allah SWT telah berjanji akan menaikkan beberapa derajat orang-orang yang berilmu, termasuk guru. Allah SWT juga akan memberikan kelapangan kepada guru karena selalu melapangkan murid-muridnya dengan ilmu pengetahuan (sumber: Al-Qur'an).
Seorang guru setiap hari mengajarkan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Kemudian ilmu tersebut dimanfaatkan di kehidupan mereka. Bahkan tidak sedikit ilmu itu akan kembali diajarkan kepada orang lain (murid dari murid) sampai beberapa generasi ke bawah tanpa terputus. Allah SWT menggolongkan itu ke dalam salah satu amal jariyah, yaitu ilmu yang bermanfaat (al-Hadits). Amal tersebut senantiasa mengalirkan pahala kepada guru bagai air sungai yang tak pernah kering. Bahkan sampai guru meninggal dunia. Ilmu itu akan tetap menjadi pahala di akhirat nanti.
Oleh sebab itu, marilah kita jaga mulianya menjadi guru. Janganlah kita mencorengnya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Kita sering menonton sikap kontradiktif oleh beberapa oknum guru. Beberapa hari belakangan di media massa ramai diberitakan tindakan oknum guru yang sudah menyimpang dari garis kewajaran. Ada oknum guru yang tega melakukan pencabulan kepada murid-muridnya, banyak guru yang sering melakukan perbuatan dan perkataan kasar kepada muridnya, sering sekali guru bertindak asusila di masyarakat, dan kelalaian-kelalaian lainnya.
Salah satu penyebab phenomena itu terjadi karena kurang terpenuhinya kebutuhan hidup para oknum guru tersebut, baik kebutuhan fisik (ekonomi) dan psikologis. Contoh aksi demonstrasi yang dilakukan oleh ratusan bahkan ribuan guru honorer mengindikasikan bahwa kebutuhan ekonomi guru belum terpenuhi. Jarak perut dan hati manusia sangatlah dekat. Wajar ketika perut belum terisi maka hati manusia akan tercemar oleh "polutan-polutan" yang dikendalikan oleh nafsu. Ibarat sebuah anekdot "bagaimana bisa beramal sementara perut masih kosong", "ketika makan memikirkan ibadah lebih baik daripada beribadah sambil berpikir kapan bisa makan".
Hematnya, untuk mencapai derajat guru menjadi ummat yang baik seperti digambarkan di atas memang membutuhkan dukungan, terutama pemerintah. Sudah saatnya pemerintah memperhatikan guru-guru yang "belum berkecukupan" (maaf, sebagai contoh guru honorer). Pemberian gaji yang wajar sangat membantu para guru honorer untuk mencapai kesejahteraan mereka. Tidaklah elok di satu sisi pemerintah meminta guru (honorer) melaksanakan pengajaran yang terbaik bagi murid-muridnya, tetapi disisi lain pemerintah tidak mengiringinya dengan balas jasa yang sesuai.
Semoga segala ironi semacam itu tidak menyurutkan semangat para Guru untuk senantiasa mengajarkan ilmu pengetahuan, melatih keterampilan, dan mendidik dengan nilai-nilai kehidupan yang baik. Sehinga mampu mencapai kebanggan menjadi guru, yakni menjadi ummat yang terbaik, ummat yang dihanyutkan ke dalam surganya Allah SWT. (*)