Jakarata (Pinmas) —- Tindak kekerasan kembali terjadi di lembaga pendidikan. Dalam satu bulan terakhir, kita dikagetkan oleh dua ironi pendidikan, yaitu kejahatan seksual di Jakarta International School (JIS) dan kematian mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP).
Sebagian pengamat pendidikan mengatakan bahwa kasus kekerasan ini merupakan lampu kuning dunia pendidikan Indonesia. Bahkan, Ketua Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nilai-nilai Kejuangan 45 Darmaningtyas mengaku takut jika pendidikan Indonesia bakal mereproduksi budaya kekerasan.
Lantas bagaimana dengan pendidikan madrasah? Kepada Pinmas, Direktur Pendidikan Madrasah M. Nur Kholis Setiawan mengatakan bahwa pendalaman nilai keislaman melalui lima mata pelajaran rumpun Pendidikan Agama Islam (PAI) di madrasah menjadi salah satu piranti antisipatif akan kekhawatiran lembaga pendidikan yang mereproduksi kekerasan.
“Lima Mapel PAI adalah piranti astisipatif atas kekhawatiran lembaga pendidikan mereproduksi kekerasan,” tegas M. Nur Kholis Setiawan, Rabu (30/04).
“Lima mata pelajaran tersebut adalah Al-Quran Hadits, Akidah Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, Fiqih, dan Bahasa Arab,” tambah M. Nur Kholis.
Menurut guru besar UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta ini, madrasah sebagai lembaga pendidikan umum berciri khas keislaman menitikberatkan keseimbangan antara dimensi intelektualitas-kognitif dan moralitas-motorik-afektif. Pilihan strategi Kemenag untuk menanamkan nilai-nilai keislaman dalam lembaga pendidikan dasar (MI dan MTs) dan menengah (MA), bahkan didahului di taman kanak-kanak (RA), merupakan upaya antisipatif sekaligus strategis membangun kader bangsa yang tasamuh dan nir-kekerasan.
“Itu semua dilakukan melalui pengayaan mapel PAI di madrasah,” kata M. Nur Kholis.
Agar lebih optimal, doktor lulusan Jerman ini mengatakan bahwa kebijakan pembelajaran PAI di madrasah ke depan tidak sebatas pada aspek teori atau kognisi saja. Lebih dari itu, pembelajaran PAI dibarengi dengan upaya integrasi kurikulum asrama di madrasah.
Namun, M. Nur Kholis mengakui bahwa hal ini masih on going process, karena belum menjadi kebijakan massiv, dan masih bersifat piloting. “Ini merupakan upaya serius proses internalisasi nilai keislaman dalam pola kehidupan keseharian yang dilakukan Kementerian Agama,” ujar M. Nur Kholis.
Disinggung apakah kekerasan juga terjadi di madrasah, M. Nur Kholis mengatakan bahwa selama ini belum pernah mendapatkan laporan. Sebab, lanjutnya, lembaga pendidikan Islam memang tidak mengenal tradisi ploncoan, atau bentuk lain yang sejenis.
Terkait penerapan kurikulum 2013 yang mengedepankan pendidikan karakter dan internalisasi nilai keagamaan, M. Nur Kholis menegaskan bahwa secara substansi, hal itu sudah berjalan di madrasah. “Substansinya sudah, hanya belum tersistematisir. Impelementasi kurikulum 2013 bisa dikatakanmemberi “wajah” dan “bungkus” baru dari nilai yang sdh ditanamkan,” tutur M. Nur Kholis.
“Lima mapel PAI termasuk Bahasa Arab intinya adalah karakter keislaman. Ada dimensi Ilahiyah yang ditanamkan dari seluruh proses belajar-mengajar di madrasah,” pungkasnya. (mkd/mkd)
Sumber: www.kemenag.go.id
0 komentar :
Posting Komentar