Oleh: Jasman, S.Pd
Guru SMA Negeri 1 Toboali
Untuk
membangun bangsa yang unggul, maka pembenahan perlu dilakukan sejak dini.
Pendidikan di sekolah maupun di rumah (keluarga) merupakan salah satu wadah
atau sumber belajar dalam membentuk karakter masyarakat yang ideal. Sebagaimana
ungkapan Dr. Martin Luther King, pendidikan mempunyai tujuan mulia yang
melahirkan manusia cerdas dan berkarakter kuat. Begitu juga menurut Ho Chi
Mien, Bapak Pendidikan Vietnam. Beliau berpesan bahwa pendidikan mutlak
diperlukan dalam rangka membangun kondisi sosial-ekonomi suatu bangsa. Hal ini
mengindikasikan bahwa pendidikan (karakter) mempunyai peran strategis dalam
menentukan arah pembangunan suatu bangsa. Pendidikan karakter harus mulai diterapkan
dalam setiap dunia kehidupan anak-anak, mulai dari keluarga, sekolah, bahkan di
lingkungan bermainnya.
Pendidikan
Karakter di Keluarga
Keluarga adalah lembaga sosial yang
pertama dalam masyarakat (WA. Gerungan). KH Abdullah Gimnastiyar atau Aa’ Gym
menggeneralisasikan keluarga sebagai sebuah organisasi kecil yang terdiri atas
pemimpin (ayah sebagai kepala rumah tangga) dan terpimpin (ibu dan anak). Keluarga
terbentuk karena dua hal, yaitu hubungan pernikahan dan hubungan darah.
Hubungan pernikahan terbentuk dalam hubungan suami dan istri. Sedangkan
hubungan darah terjadi antara ayah, ibu, dan anak-anak. Hubungan ini akan
terjadi dalam jangka waktu lama. Setiap keluarga kemudian bersatu membentuk
sebuah masyarakat.
Keluarga
mempunyai peran vital dalam pembangunan sebuah bangsa. Anak yang berasal dari
keluarga yang baik akan terbentuk menjadi manusia yang baik. Anak inilah yang
akan menjadi penerus pembangunan bangsa nantinya. Sebaliknya, anak yang berasal
dari didikan keluarga yang broken home akan terbentuk menjadi anak yang
tidak berkembang. Anak seperti ini tidak mampu melakukan pembangunan terhadap
bangsa dan negaranya.
Oleh sebab itu, peran keluarga harus
dioptimalkan dalam pembentukan karakter seorang anak. Untuk itu, keluarga harus
mampu memerankan 10 fungsinya (Syarbini, 2013) yakni Fungsi reproduksi, Fungsi
edukasi, Fungsi proteksi , Fungsi afeksi, Fungsi sosialisasi, Fungsi religi, Fungsi
ekonomi, Fungsi biologi, Fungsi transformasi, dan Fungsi rekreasi.
Fungsi edukasi menempatkan keluarga
sebagai lembaga pendidikan informal. Keluarga menjadi awal penanaman
pengetahuan, sikap dan keterampilan anak. Keluarga mempunyai peran penting
terhadap perkembangan pengetahuan anak. Fungsi proteksi maksudnya bahwa
keluarga mempunyai kekuatan untuk memberikan rasa aman dan melindungi
anggotanya dari berbagai macam gangguan lahir dan bathin. Fungsi afeksi akan
memberikan rasa kasih sayang, kebersamaan, dan ikatan bathin kepada seluruh anggotanya.
Sebagai lembaga sosialiasi, keluarga mempunyai fungsi untuk melatih anak
bersosialisasi atau bergaul dengan orang lain.
Fungsi keluarga yang sangat penting
adalah fungsi religi. Keluarga mempunyai tanggung jawab mengenalkan konsep
ketuhanan dan pelaksanaan ibadah keagamaan kepada anggota keluarga. Keluarga
wajib menanamkan semangat ketuhanan yang benar kepada anak-anak. Fungsi
ekonomi, fungsi biologi, dan fungsi rekreasi merupakan fungsi keluarga dalam
rangka memenuhi segala kebutuhan hidup manusia, baik kebutuhan jasmani dan
kebutuhan rohani. Sedangkan fungsi transformasi adalah fungsi keluarga dalam
mentransfer nilai-nilai keluarga kepada anak cucunya.
Seluruh fungsi keluarga secara
bersinergi membantu penanaman nilai pendidikan karakter bagi anak-anak.
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, pendidikan karakter di lingkungan
keluarga juga mencakup aspek-aspek afektif, kognitif, dan psikomotor. Menurut
Syarbini (2014: 40), nilai-nilai karakter yang dapat ditanamkan dalam
pendidikan karakter di keluarga meliputi keimanan dan ketaqwaan, kejujuran,
disiplin, percaya diri, tanggung jawab, rasa keadilan, sopan santun, pemaaf,
sabar, dan peduli. Nilai-nilai karakter ini dikembangkan dari ajaran agama,
filsafat bangsa, serta nilai kearifan lokal suatu masyarakat.
Sejalan dengan tujuan pendidikan
secara umum, pendidikan karakter pada hakekatnya bertujuan menciptakan manusia
yang cerdas pikiran, moral dan spiritualnya, berbudi pekerti yang luhur, taat
menjalankan perintah agama, serta mempunyai mental yang terpuji. Namun secara
khusus, penanaman pendidikan karakter di lingkungan keluarga bertujuan untuk
menciptakan anak menjadi manusia yang berakhlak mulia, taat kepada perintah
agamanya (baca: Allah dan Rasul) serta menjadi anak yang berbakti kepada kedua
orang tua.
Untuk
mencapai tujuan di atas, penanaman pendidikan karakter di keluarga dapat
dilakukan oleh dua pelaku. Pelaku
pertama adalah keluarga inti (orang tua dan kakak adik). Ada dua alasan, yaitu
orang tua telah dikodratkan untuk mendidik anak-anak yang dilahirkannya serta
aspek kepentingan orang tua terhadap kesuksesan anak-anaknya (Tafsir, 2004:
74). Orang tua sangat bertanggung jawab menjadikan anak-anaknya menjadi insan
yang berguna.
Pelaku kedua, keluarga besar. Maksud
keluarga besar disini adalah kakek, nenek, paman, bibi, saudara-saudara
lainnya. Unsur-unsur ini bisa berpengaruh terhadap keberhasilan penanaman
karakter di lingkungan keluarga. Ketika orang tua mengajarkan untuk sholat,
tetapi di sisi lain anak-anak melihat kakek atau paman atau bibi tidak shalat,
maka kepekaan anak untuk menuruti perintah orang tua akan sedikit goyah. Mereka
bisa berdalih mengapa mereka saja yang shalat sedangkan orang lain tidak
mengerjakannya. Oleh karena itu, perlu ada kesamaan pikiran, visi dan misi
antara kedua pelaku di atas agar penanaman karakter di lingkungan keluarga
berjalan secara utuh.
Selain contoh mengajarkan ibadah,
pendidikan karakter di lingkungan keluarga juga mengutamakan pendidikan akhlak
mulia. Dalam peran menjadi seorang guru, Orang tua harus mampu memberikan
contoh atau teladan yang baik kepada anak-anaknya. Karena sebagai seorang
peserta didik, anak-anak mengikuti penuh apa yang dilakukan dan dikatakan oleh
gurunya (orang tuanya).
Ibarat kurikulum dalam pendidikan
formal, Orang tua harus mengajarkan materi-materi tentang sopan santun, cara
berbicara yang sopan, berjalan yang benar, berkomunikasi yang sopan,
bertanggung jawab, bersikap jujur, suka membantu orang lain, serta
pengajaran-pengajaran lainnya. Jika
dikaitkan dengan pengetahuan majemuk-nya Howard Gardner, pendidikan karakter di
keluarga cenderung bertujuan meningkatkan kecerdasan interpersonal dan
kecerdasan intrapersonal.
Menurut Syarbini (2014), dalam
bukunya membagi menjadi tujuh metode yang bisa digunakan untuk menanamkan karakter
pada anak, yaitu:
1.
Metode
internalisasi, yaitu memasukkan pengetahuan dan keterampilan ke dalam diri
seseorang untuk menjadi kepribadiannya sehari-hari.
2.
Metode
keteladanan, yaitu metode pengajaran dengan cara memberikan contoh atau teladan
yang baik kepada anak-anak. Anak-anak akan meniru apa saja yang dilakukan dan
apa saja yang dikatakan oleh orang tuanya. Jika orang tua berkata dan berlaku
baik, maka baiklah yang ditiru anak-anaknya. Sebaliknya, jika orang tuanya
sering berkata dan berlaku kurang baik, maka mereka akan berlaku dan berkata
seperti orang tuanya tersebut.
3.
Metode pembiasaan.
Pembiasaan merupakan cara orang tua untuk mengajarkan anak-anak untuk melakukan
sesuatu. Pembiasaan dapat menanamkan rasa tanggung jawab anak atas pekerjaan atau
rutinitas tersebut. Sebagai contoh pembiasaan shalat tepat waktu dapat mendidik
anak untuk disiplin.
4.
Metode bermain.
Kadangkala anak-anak merasa bosan dengan rutinitas serta aturan-aturan yang
ketat. Baik di rumah maupun di sekolah anak-anak biasanya terikat oleh sebuah
tatanan atau aturan. Metode bermain menjadi salah satu alternatif bagi orang
tua untuk menanamkan karakter kepada anak. Tanpa mereka sadar, kegiatan bermain-main
sebenarnya mengajarkan mereka karakter yang sangat penting. Sifat sportifitas,
kerja sama, komunikasi merupakan bagian kecil dari pendidikan karakter dalam
bermain.
5.
Metode
bercerita. Ketika kita masih kecil, sering kali orang tua senang menceritakan
sebuah dongeng kepada anak-anak mereka. Di dalam cerita tersebut orang tua bisa
menyelipkan penanaman karakter kepada anak. Misalnya cerita kancil dan monyet yang
berisi nasehat untuk hidup jujur. Cerita kancil dan kura-kura menanamkan
karakter tidak sombong, dan sebagainya.
6.
Metode nasehat.
Nasehat bisa diberikan secara langsung oleh orang tua kepada anaknya tanpa melalui
perantara atau media bantu. Nasehat merupakan pesan-pesan orang tua secara
langsung kepada anak tentang apa yang baik dan yang buruk untuk dikerjakan.
7.
Metode hadiah
dan hukuman. Kadangkala kita sering mengabaikan metode reward and
punishment. Kita terlalu sering memberikan hukuman kepada anak ketika
mereka dinilai bersalah. Namun, ketika mereka memperoleh prestasi kita jarang
memberikan hadiah (reward). Kata reward tidak terbatas pada hadiah
yang berupa fisik, tetapi bisa diaplikasikan dalam bentuk pujian, tepuk tangan,
pelukan, ciuman. Dengan cara seperti ini kita mendidik mereka menjadi orang
yang bisa menghargai orang lain.